Sunday, 31 July 2016

Jalan Guru



Oleh: Iwan Pranoto
Kompas Cetak, 1 Agustus 2016

Bagi negara dengan mutu pengajaran di sekolah masih rendah, tak menguntungkan menceraikan perguruan tinggi dari pendidikan dasar dan menengah. Di zaman ini, perjalanan karier seorang guru—dari sebelum mengajar sampai saat mengajar—senantiasa berhubungan dengan perguruan tinggi.


Tersebutlah seorang profesor kimia yang tak senang saat mengetahui bagaimana cara anak kandungnya diajar kimia di sekolah. Maka, kemudian sang profesor minta bertemu dengan guru kimia anaknya tersebut untuk menegur dan hendak ”mengajari” bagaimana seharusnya mengajarkan kimia. Saat bertemu, sang profesor kaget karena ternyata guru kimia itu bekas mahasiswanya sendiri. Kejadian ini dikutip di laporan ”Educating Teachers of Science, Mathematics, and Technology” keluaran National Research Council, 2001.

Kisah ini, pertama, mengingatkan para dosen dan perguruan tinggi bahwa mahasiswanya ada yang akan menapaki jalan guru. Perlu disadari, tak semua mahasiswa di perguruan tinggi akan menjadi peneliti, rekayasawan, arkeolog, apoteker, pengacara, sejarawan, manajer, atau politisi. Sebagian insan menetapkan hati untuk menelusuri jalan guru saat ia studi di perguruan tinggi. Maka, semua perguruan tinggi, tanpa kecuali, bertanggung jawab dan berperan dalam merawat jalan guru. Terlebih karena saat ini institut keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP) juga sudah tak ada lagi.

Kedua, pengajar perguruan tinggi berperan dan amat berdaya dalam menginspirasi mahasiswa untuk menjadi guru. Momen kegiatan akademik sarat perdebatan pemikiran mendalam serta argumen mencerahkan, semacam yang digambarkan di film Dead Poets Society, mengilustrasikan keindahan dan kenikmatan mengajar. Pengalaman intelektual macam ini kerap mengukir sukma mahasiswa dengan hasrat diri menapaki jalan guru.

Walau demikian, harus diakui bahwa banyak yang memilih jalan guru berdasar motivasi lebih rasional, seperti ekonomi. Akan tetapi, ada pula insan menapaki jalan guru karena alasan yang dianggap emosional dan romantis seperti di atas.

Ketiga, kejadian di atas mengingatkan para dosen untuk selalu memperbaiki pengajarannya. Gaya dosen mengajar akan dijadikan rujukan, model, dan dipertontonkan kembali secara berulang-ulang dalam pengajaran di sekolah. Oleh karena itu, khususnya para dosen pengampu mata kuliah di tahun pertama perlu memberi perhatian saksama tidak saja pada konsep apa yang dibelajarkan, tetapi juga pada bagaimana membelajarkannya.

Dengan kenyataan di atas, selain merancang kebijakan perekrutan guru, perguruan tinggi juga perlu memikirkan program studi lanjut bagi guru. Khususnya karena hari ini semua perguruan tinggi di dunia sedang ditantang membuat terobosan inovasi studi lanjut bagi guru.

Studi lanjut

Amatlah tak bijak anggapan bahwa perguruan tinggi tertentu tak perlu memedulikan pendidikan pra-universitas. Perlu dicatat, pengajaran yang bermakna di sekolah akan menjamin suburnya tunas ilmuwan, rekayasawan, sejarawan, dan lain sebagainya, di masa depan dan tentunya meneguhkan keberlanjutan ilmu pengetahuan dan peradaban.

Perguruan tinggi papan atas dalam riset di AS, seperti Stanford, UCLA, Harvard, Rice, Illinois Urbana, dan UC Berkeley, juga mengelola program studi lanjut bagi guru. Oleh karena itu, menyedihkan jika hari ini masih saja ada yang mengedepankan dikotomi antara perguruan tinggi keguruan dan non-keguruan. Indonesia butuh banyak guru yang cakap, tak mungkin kebutuhan ini dipenuhi hanya oleh sebagian perguruan tinggi.

Hari ini sudah tersedia ragam program studi lanjut bagi guru yang ditawarkan perguruan tinggi, termasuk di Indonesia. Ada yang menekankan pada keilmuan serta pengajarannya secara mikro. Ada pula yang menekankan pada pengkajian isu pendidikan secara makro.

Pada program studi S-2 matematika bagi guru di ITB, misalnya, mahasiswa guru (mahasiswa yang merupakan guru) menelaah konsep matematika sekolah, tetapi menggunakan sudut pandang matematika lanjut. Para mahasiswa guru ini mendalami berbagai gagasan keilmuan di sekolah yang mungkin sebelumnya dianggap sepele, dengan sudut pandang yang canggih.

Mahasiswa guru akan menghargai kedahsyatan dan kegeniusan gagasan yang mereka belajarkan di kelas. Pendekatan seperti ini amat mungkin disalin dan diterapkan pada disiplin lain, seperti kewarganegaraan dan sejarah.

Demikian pula tugas atau proyek akhir di program seperti ini fokus pada analisis konten keilmuan secara spesifik dan mikro. Mahasiswa meneliti, antara lain, bagaimana murid sebagai individu mempelajari pemahaman spesifik tertentu.

Ada pula studi lanjut yang menekankan pada keterampilan meneliti isu pendidikan secara makro, seperti kurikulum, metode pengajaran tertentu, dan sebagainya. Bentuk tugas akhir di program studi seperti ini fokus pada penelitian kebijakan pendidikan. Di sini, mahasiswa guru belajar menjadi peneliti.

Ada pula sebuah inovasi program studi lanjut yang secara sistematis merangkaikan pemahaman konsep serta kemahiran mengajar. Setiap topik (bahan pengajaran sekolah) diajarkan dua kali, pada dua semester secara berurutan.

Pada semester pertama, mahasiswa mempelajari sebuah topik sebaik-baiknya dan berperan sebagai murid. Mahasiswa harus merasakan bagaimana belajar sampai memahami sebuah konsep sebagai murid. Kemudian, di semester selanjutnya, mahasiswa akan mempelajari konsep yang sama lagi, tetapi sekarang mereka akan mempelajarinya sebagai seorang guru. Mereka harus menelaah bagaimana mereka cipta pembelajaran agar murid berhasil mengalami proses belajar yang efektif dan belajar secara bermakna seperti yang dialaminya pada semester sebelumnya.

Inovasi dalam studi lanjut bagi guru menelurkan keberagaman pilihan pendidikan bagi guru. Seperti yang disampaikan dalam laporan Science Teachers Learning dari National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine (2015: 215), studi lanjut mana yang lebih cocok bergantung pada tiap individu guru. Namun, yang jelas, berbagai inovasi studi lanjut bagi guru perlu terus didorong.

Rekomendasi

Bagi perguruan tinggi, dosen dapat secara sukarela sesekali menjadi guru tamu di sekolah sekitar perguruan tingginya. Ini tentu memberi pencerahan bagi murid, menjadi model pengajaran yang baik bagi guru, serta menambah pemahaman dosen pada permasalahan pengajaran di sekolah. Yang juga tak kalah penting, kegiatan seperti ini akan meningkatkan relevansi perguruan tinggi terhadap masyarakat di lingkungannya.

Bagi mahasiswa, perlu diresapi pernyataan Paus Fransiskus dalam siaran radionya pada 14 Maret 2015, yakni ”Mengajar itu profesi yang indah.” Jika memang diberkahi bakat mengajar, mengapa pula menolak jalan guru?

IWAN PRANOTO, GURU BESAR ITB SERTA ATASE PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DI KBRI NEW DELHI, INDIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Jalan Guru".

Referensi


  1. When Finnish Teachers Work in America’s Public Schools, http://www.theatlantic.com/education/archive/2016/11/when-finnish-teachers-work-in-americas-public-schools/508685

No comments:

Post a Comment