Oleh : Adriano Rusfi
Kenapa surau selalu saja digambarkan dalam foto-foto indah sebagai berada di tengah-tengah antara tabek (kolam ikan) dengan sawah ?
Karena surau adalah sebuah primary life. bahwa di surau Si Bujang harus mampu self-help dan personal survival. Siangnya ia di sawah... Saat panen ikan ia menguras tabek untuk dimakan dan dijual... saat senggang mereka di lapau untuk makan, mengopi dan berdiskusi (maota) tentang isyu-isyu aktual... Sedangkan sore hingga malam mereka bersilat, belajar, mengaji dan mendengar petuah-petuah dari inyiak-badaik.
Ini adalah fullday-life, bukan fullday school. "Schooling" mereka hanyalah dari sore hingga menjelang tidur. Bagi masyarakat dengan prinsip "Alam Takambang Manjadi Guru", bertani adalah belajar... bertabek adalah belajar... nongkrong di warung kopi adalah belajar.... maota adalah belajar...Bukankah belajar tidak harus sekaku di sekolah ?
Surau dalam perjalanannya tak pernah berpisah dengan lapau. Ini adalah dua entitas yang menyatu. Surau bukanlah "the sacred place", dan lapaubukanlah "the profane place". Surau bukanlah tempatnya malin (orang baik), sedangkan lapau bukanlah tempatnya parewa (preman). Tapi keduanya adalah "The life space" : ruang kehidupan
Surau mungkin tempat untuk serius, ilmiah dan faktual. Namun setiap hamba Allah butuh relaksasi, agar orang surau-pun tak kehilangan human touch. Maka di lapau lah orang surau merelaksasi dirinya. Mereka bisa berceloteh, ngobrol ngalor-ngidul membahas topik aktual tanpa harus argumentatif. Jika di surah Si Bujang mendapatkan logika, maka di lapaumereka melatih retorika.
Dapat dikatakan kecakapan merantau didapatkan di surau dan lapausekaligus. Tapi itu kisah lama. Kini surau dan lapau telah dipisahkan, bahkan dipertentangkan. Yang satu menjadi tempatnya malaikat, yang lainnya menjadi tempatnya setan. Lalu, tak satupun yang menjadi tempathya manusia...
Semoga Sekolah Alam Tangerang menyatukan kembali antara surau danlapau : The Human Place